top of page
Search

KONFLIK SOSIAL SEBAGAI PEMICU TERJADINYA TRAUMA

  • Hidayatun Rahmi
  • Jul 15, 2016
  • 6 min read

Peristiwa-peristiwa traumatik dapat terjadi dalam kehidupan seseorang tanpa dapat diprediksi sebelumnya dan tanpa adanya persiapan apapun. Setiap orang memiliki reaksi yang berbeda ketika dihadapkan pada peristiwa traumatik seperti ini. Pada beberapa orang, peristiwa traumatik ini membuatnya menjadi trauma, ia tidak mampu menjalankan kesehariannya seperti biasa, bayangan akan peristiwa tersebut senantiasa kembali dalam ingatannya dan mengusiknya, ia juga merasa tak mampu mengatasinya. Mereka yang mengalami hal demikian mungkin mengalami apa yang disebut dengan post traumatic stress disorder (PTSD).

Post-traumatic stress disorder (PTSD) can affect those who personally experience the catastrophe, those who witness it, and those who pick up the pieces afterwards, including emergency workers and law eforcement officers. It can even occur in the friends or family members of thoose who went through the actual trauma (Smith & Segal, 2008).

Post-traumatic stress disorder dapat mempengaruhi mereka yang secara pribadi mengalami bencana atau musibah besar, mereka yang menjadi saksi atas kejadian tersebut, dan mereka yang membantu dalam kejadian tersebut, termasuk pekerja sosial dan petugas keamanan. Bahkan hal ini dapat terjadi dikalangan teman atau kerabat dari orang yang mengalami trauma (Smith & Segal. 2008).



  1. Pengertian PTSD

Beberapa sumber mendefinisikan Post-traumatic stress disorder sebagai berikut:

  1. Post-traumatic stress disorder adalah gangguan kecemasan yang dapat terbentuk dari sebuah peristiwa atau pengalaman yang menakutkan/mengerikan, sulit dan tidak menyenangkan dimana terdapat penganiayaan fisik atau perasaan terancam (American Psychological Association, 2004)

  2. Post-traumatic stress disorder adalah sebuah gangguan yang dapat terbentuk dari peristiwa traumatik yang mengancam keselamatan anda atau membuat anda merasa tidak berdaya (Smith & Segal, 2008).

Giller (1999) mengatakan bahwa trauma secara psikologis adalah pengalaman individu yang unik dari suatu kejadian atau peristiwa yang meliputi ketidak mampuan individu untuk mengintegrasikan pengalaman emosionalnya, pengalaman individu secara subjektif yang mengancam hidup, kebutuhan jasmaniah, atau kesehatan jiwanya. Para ahli lainnya, yaitu Kaplan dan Sadock (Sinopsis Psikiatri jilid Dua, 1997) mendefinisikan sebagai suatu stress emosional yang besar yang dapat terjadi pada hampir setiap orang yang mengalami kejadian traumatik. Trauma tersebut termasuk peperangan, bencana alam, pemerkosaan, dan kecelakaan yang serius.

National Institute Mental Health (NIMH, 1999) menyebutkan Post-traumatic disorder adalah gangguan kecemasan yang dapat terjadi setelah mengalami atau menyaksikan suatu kejadian yang mengerikan, atau siksaan dengan kejahatan fisik yang gawat, atau kejadian yang mengancam. Individu yang mempunyai kecenderungan post-traumatic stress disorder adalah individu yang mempunyai sebuah pengalaman terhadap peristiwa atau kejadian traumatik sehingga pengalaman traumatik tersebut menimbulkan stres dalam dirinya. Stres yang berkelanjutan inilah yang dikenal dengan post-traumatic stress disorder.

Individu yang mempunyai kecenderungan mengalami post-traumatic stress disorder dipengaruhi oleh faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal merupakan faktor dalam diri individu yang berpengaruh dalam hubungannya dengan post-traumatic stress disorder, sedangkan faktor eksternal merupakan faktor diluar diri individu yang mempunyai peran terhadap kemungkinan individu mengalami post-traumatic stress disorder.

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder (DSM-IV, 1994), terdapat tiga kelompok simptom Post-Traumatic Stress Disorder, yaitu:

  1. Instrusive Re-experiencing, yaitu selalu kembalinya peristiwa traumatik dalam ingatan. Gejala-gejalanya adalah:

  2. Berulang-ulang muncul dan mengganggu perasaan mengenai peristiwa, termasuk pikiran, perasaan, atau persepsi-persepsi;

  3. Muncul kembali dalam mimpi mengenai peristiwa;

  4. Pikiran-pikiran mengenai peristiwa traumatik selalu muncul, termasuk perasaan hidup kembali pengalaman traumatik, ilusi, halusinasi, dan mengalami flashback mengenai peristiwa;

  5. Gangguan psikologis yang sangat kuat ketika menyaksikan sesuatu yang mengingatkan tentang peristiwa traumatik;

  6. Terjadi reaktivitas fisik, seperti menggigil, jantung berdebar keras atau panik ketika bertemu dengan sesuatu yang mengingatkan peristiwa.

  7. Avoidance, yaitu selalu menghindari sesuatu yang berhubungan dengan trauma dan perasaan terpecah. Gejala-gejalanya, yaitu:

  8. Berusaha menghindar situasi, pikiran-pikiran atau aktivitas yang berhubungan dengan peristiwa traumatik;

  9. Kurangnya perhatian atau partisipasi dalam berbagai kegiatan sehari-hari;

  10. Merasa terpisah atau perasaan terasing dari orang lain;

  11. Membatasi perasaan-perasaan, termasuk untuk memiliki perasaan kasih sayang;

  12. Perasaan menyerah dan takut pada masa depan, termasuk tidak mempunyai harapan terhadap karir, pernikahan, anak-anak, atau hidup normal.

  13. Arousal, yaitu kesadaran secara berlebih. Gejala lainnya antara lain:

  14. Mengalami gangguan tidur atau bertahan untuk selalu tidur

  15. Mudah marah dan meledak-ledak

  16. Kesulitan memusatkan konsentrasi

  17. Kesadaran berlebih (hyper-arousal)

  18. Gugup dan mudah terkejut

Menurut Schiraldi (1999) dalam DSM-IV (dalam Nandang Rusmana, 2008) ada enam gejala masalah yang dihadapi oleh klien yang mengalami gangguan pascatrauma, yakni: (1) terbayang-bayang oleh peristiwa traumatis (exposure to stressor), (2) harapan masa depan rendah (event-re-experienced), (3) mengisolasi diri (avoidance), (4) emosional (arousal), (5) berfikir negatif (life disrupted), dan (6) merasa tak berdaya (duration of simptoms in criteria B more than one month)


Smith & Segal menyebutkan peristiwa traumatik yang dapat mengarah kepada munculnya PTSD termasuk:

  1. Perang (War)

  2. Pemerkosaan (Rape)

  3. Bencana alam (Natural disasters)

  4. Kecelakaan mobil / Pesawat (A car or plane crash)

  5. Penculikan (Kidnapping)

  6. Penyerangan fisik (Violent assault)

  7. Penyiksaan seksual / fisik (Sexual or physical abuse)

  8. Prosedur medikal - terutama pada anak-anak (Medical procedures - especially in kids)

Untuk di-diagnosa mengalami PTSD, seseorang tidak perlu memiliki semua simptom di atas. Dalam faktanya, sangat jarang seseorang dengan PTSD mengalami seluruh simptom yang tertulis diatas. Untuk di-diagnosa mengalami PTSD, seseorang hanya perlu beberapa simptom dari setiap kelompok. Tentunya persyaratan tambahan untuk diagnosa PTSD juga perlu dites, seperti bagaimana seseorang merespon peristiwa traumatik tersebut, berapa lama simptom tersebut dialami, dan seberapa luas simptom tersebut mempengaruhi kehidupannya.

Menurut DSM, anak-anak dapat menderita PTSD, sering kali merupakan respons karena menyaksikan kekerasan dalam rumah tangga atau mengalami penyiksaan fisik (Silva dkk, 2000). Gambaran klinis PTSD pada anak-anak tampaknya berbeda dengan orang dewasa. Gangguan tidur dengan mimpi buruk tentang monster umum terjadi, sebagaimana juga perubahan perilaku. Sebagai contoh, seorang anak yang semula periang menjadi pendiam dan menarik diri atau seorang anak yang semula pendiam menjadi kasar dan agresif. Beberapa anak yang mengalami trauma mulai berpikir bahwa mereka tidak akan hidup hingga mencapai usia dewasa. Anak-anak jauh lebih sulit berbicara tentang perasaan mereka dibanding orang dewasa.

  1. Ciri-ciri Utama Gangguan Stres Pascatrauma

Sebelum membahas tentang stres, sebaiknya memahami terlebih dahulu tiga komponen stres, yaitu stresor, proses (interaksi), dan respon stres. Stresor merupakan situasi atau stimulus yang mengancam kesejahteraan individu. Respon stres adalah reaksi yang muncul, sedangkan proses stres merupakan mekanisme interaktif yang dimulai dari datangnya stresor sampai munculnya respon stres (Helmi, 2000)

Melalui pendekatan respons stres timbulnya stres, pengertian stres dihubungkan dengan adanya peristiwa yang menekan sehingga seseorang dalam keadaan tidak berdaya akan menimbulkan dampak negatif, misalnya pusing, tekanan darah tinggi, mudah marah, sedih, sulit berkonsentrasi, nafsu maka bertambah, sulit tidur, ataupun merokok terus. Pendekatan kedua, definisi stres dihubungkan dari sisi stresor (sumber stres). Stres dalam hal ini digambarkan sebagai kekuatan yang menimbulkan tekanan-tekanan dalam diri, stres dalam pendekatan ini muncul jika tekanan yang dihadapi melebihi batas optimum (Helmi, 2000). Pendekatan ketiga adalah pendekatan interaksionis yang menitiberatkan definisi stres dengan adanya transaksi antara tekanan dari luar dengan karakteristik individu, yang menentukan apakah tekanan tersebut menimbulkan stres atau tidak.

Pendapat lain, Clonninger (1996) mengemukakan stres adalah keadaan yang membuat tegang yang tejadi ketika seseorang mendapatkan masalah atau tantangan dan belum mempunyai jalan keluarnya atau banyak pikiran yang mengganggu seseorang terhadap sesuatu yang akan dilakukannya. Ahli lain, Kendall dan Hammen (1998) menyatakan stres dapat terjadi pada individu ketika terdapat ketidakseimbangan antara situasi yang menuntut dengan perasaan individu atas kemampuannya untuk bertemu dengan tuntutan-tuntutan tersebut. Situasi yang menuntut tersebut dipandang sebagai beban atau melebihi kemampuan individu untuk mengatasinya. Ketika individu tidak dapat menyelesaikan atau mengatasi stres dengan efektif maka stres tersebut berpotensi untuk menyebebkan gangguan psikologis lainnya seperti post-traumatic stress disorder.

Lain halnya dengan pendapat Kartono dan Gulo (2000) yang mendefinisikan stres sebagai berikut.

  1. Suatu stimulus yang menegangkan kapasitas-kapasitas (daya) psikologis atau fisiologis organisme.

  2. Sejenis frustasi, dengan aktivitas yang terarah pada pencapaian tujuan telah terganggu atau dipersukar, tetapi tidak terhalang-halangi; peristiwa ini biasanya disertai oleh perasaan was-was khawatir dalam pencapaian tujuan.

  3. Kekuatan yang diterapkan pada suatu sistem; tekanan-tekanan fisik dan psikologis yang dikenakan pada tubuh dan pribadi

  4. Suatu kondisi ketegangan fisik atau psikologis disebabkan oleh adanya persepsi ketakutan dan kecemasan

Secara sederhana, Pulih & ICMC (2003:1) mendefinisikan stres sebagai “suatu kedaan di mana individu terganggu keseimbangannya. Stres terjadi akibat adanya situasi dari luar ataupun dari dalam diri yang memunculkan gangguan, dan menuntut individu untuk berespon secara sesuai”.

Walaupun stres sering mengganggu dan sering dipandang sebagai hal negatif, namun adakalanya stres membawa pengaruh yang baik dalam kehidupan. Dalam hal ini, pulih & ICMC (2003:2) menyebutkan bahwa “Eustress, adalah stres dalam arti positif, yakni keadaan yang dapat memotivasi, dan berdampak menguntungkan”.

Sebagai contohnya, seorang siswa yang diberikan tugas oleh gurunya dan waktu pengumpulan nya semakin dekat, maka timbullah berbagai gangguan dalam dirinya, yaitu takut dan khawatir bila tidak dapat menyeleseaikan tugas tepat waktu dan sebagainya. Akibat gangguan ini, bangkitlah kreativitas siswa tersebut untuk menyelesaikan tugasnya. Jadi, gangguan (stres) berupa kecemasan dan berbagai tekanan yang dialami seseorang bila direspon dengan baik dapat melahirkan pengaruh yang positif.

Orang yang mengalami stres, menurut Pulih & ICMC (2003), dapat diamati melalui berbagai gejala, seperti meningkatnya ketegangan, kegelisahan, dan kecemasan. Bila dihayati hal tersebut akan berpengaruh kepada fisik, seperti timbulnya sakit kepala, mulas diare, gatal-gatal, ketegangan otot, gangguan tidur, dan meningkatnya tekanan darah dan detak jantung. Stres dapat pula muncul dalam wujud perilaku sehingga membuat individu jadi tidak sabar, cepat marah, perubahan pola makan, menarik diri, lesu, dan rendah diri. Dalam psikologi Abnormal (2006; 288) Alexander mengatakan:

Pembendungan impuls-impuls hostile akan terus terjadi dan secara konsekuensi intensitasnya akan meningkat. Hal ini akan menyebabkan berkembangnya tindakan defensif yang semakin kuat untuk menjaga agar agresi yang ditekan tidak muncul ke permukaan. Karena tingkat hambatan yang tinggi, para pasien tersebut tidak efektif dalam pekerjaan mereka sehingga cenderung gagal berkompetisi dengan orang lain….timbul rasa iri dan perasaan tidak suka terhadap orang yang lebih sukses, para kompetitor yang hanya sedikit mengalami hambatan semakin intensif. (Alexander, 1950;150)


 
 
 

Recent Posts

See All
psikologi konseling

Pertanyaan: Apa pengaruh mental disorder pada kehidupan konseli? Jawab : Mental disorder merupakan gangguan mental yang terjadi karena...

 
 
 
Pelayanan profesional konseling

SPEKTRUM PELAYANAN PROFESIONAL KONSELING Wawasan Keilmuan, Keterampilan, Keahlian, Kode Etik, dan Organisasi Profesi Konseling Wawasan...

 
 
 
Langkah-langkah konseling

Langkah-Langkah dalam Melakukan Konseling: Skil yang umumnya digunakan : Rapport dan structuring. “Hello” Untuk membangun kerja sama yang...

 
 
 

Comments


Featured Posts
!
Recent Posts
Search By Tags
Follow Us
  • Facebook Clean
  • Twitter Clean
  • Instagram Clean
  • White YouTube Icon
  • RSS Clean
!

© 2023 by DO IT YOURSELF. Proudly created with Wix.com

bottom of page